era revolusi industri 4.0
Sejarah Revolusi
Industri 4.0
Istilah
Industri 4.0 lahir dari ide revolusi industri ke empat. European Parliamentary
Research Service dalam Davies (2015) menyampaikan bahwa revolusi industri
terjadi empat kali. Revolusi industri pertama terjadi di Inggris pada tahun
1784 di mana penemuan mesin uap dan mekanisasi mulai menggantikan pekerjaan
manusia. Revolusi yang kedua terjadi pada akhir abad ke-19 di mana mesin-mesin
produksi yang ditenagai oleh listrik digunakan untuk kegiatan produksi secara
masal. Penggunaan teknologi komputer untuk otomasi manufaktur mulai tahun 1970
menjadi tanda revolusi industri ketiga. Saat ini, perkembangan yang pesat dari
teknologi sensor, interkoneksi, dan analisis data memunculkan gagasan untuk
mengintegrasikan seluruh teknologi tersebut ke dalam berbagai bidang industri.
Gagasan inilah yang diprediksi akan menjadi revolusi industri yang berikutnya.
Angka empat pada istilah Industri 4.0 merujuk pada revolusi yang ke empat.
Industri 4.0 merupakan fenomena yang unik jika dibandingkan dengan tiga
revolusi industri yang mendahuluinya. Industri 4.0 diumumkan secara apriori
karena peristiwa nyatanya belum terjadi dan masih dalam bentuk gagasan (Drath
dan Horch, 2014).
Istilah Industri
4.0 sendiri secara resmi lahir di Jerman tepatnya saat diadakan Hannover Fair
pada tahun 2011 (Kagermann dkk, 2011). Negara Jerman memiliki kepentingan yang
besar terkait hal ini karena Industri 4.0 menjadi bagian dari kebijakan rencana
pembangunannya yang disebut High-Tech Strategy 2020. Kebijakan tersebut
bertujuan untuk mempertahan-kan Jerman agar selalu menjadi yang terdepan dalam
dunia manufaktur (Heng, 2013). Beberapa negara lain juga turut serta dalam
mewujudkan konsep Industri 4.0 namun menggunakan istilah yang berbeda seperti Smart
Factories, Industrial Internet of Things, Smart Industry,
atau Advanced Manufacturing. Meski memiliki penyebutan istilah yang
berbeda, semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan daya saing
industri tiap negara dalam menghadapi pasar global yang sangat dinamis. Kondisi
tersebut diakibatkan oleh pesatnya perkembangan pemanfataan teknologi digital
di berbagai bidang.
Industri 4.0 diprediksi memiliki potensi manfaat yang besar. Sebagian besar pendapat mengenai potensi
manfaat Industri 4.0 adalah mengenai perbaikan kecepatan-fleksibilitas produksi,
peningkatan layanan kepada pelanggan dan peningkatan pendapatan. Terwujudnya
potensi manfaat tersebut akan memberi dampak positif terhadap perekonomian
suatu negara.
Industri 4.0 memang
menawarkan banyak manfaat, namun juga memiliki tantangan yang harus dihadapi.
Drath dan Horch (2014) berpendapat bahwa tantangan yang dihadapi oleh suatu
negara ketika menerapkan Industri 4.0 adalah munculnya resistansi terhadap
perubahan demografi dan aspek sosial, ketidakstabilan kondisi politik,
keterbatasan sumber daya, risiko bencana alam dan tuntutan penerapan teknologi
yang ramah lingkungan. Menurut Jian Qin dkk (2016), terdapat kesenjangan yang
cukup lebar dari sisi teknologi antara kondisi dunia industri saat ini dengan
kondisi yang diharapkan dari Industri 4.0. Penelitian yang dilakukan oleh
Balasingham (2016) juga menunjukkan adanya faktor keengganan perusahaan dalam
menerapkan Industri 4.0 karena kuatir terhadap ketidakpastian manfaatnya.
Berdasar beberapa penjelasan tersebut maka sesuai dengan
yang disampaikan oleh Zhou dkk (2015), secara umum ada lima tantangan besar
yang akan dihadapi yaitu aspek pengetahuan, teknologi, ekonomi, social, dan
politik. Guna menjawab tantangan tersebut, diperlukan usaha yang besar,
terencana dan strategis baik dari sisi regulator (pemerintah), kalangan
akademisi maupun praktisi. Kagermann dkk (2013) menyampaikan diperlukan
keterlibatan akademisi dalam bentuk penelitian dan pengembangan untuk
mewujudkan Industri 4.0.
Menurut
Jian Qin dkk (2016) roadmap pengembangan teknologi untuk mewujudkan
Industri 4.0 masih belum terarah. Hal ini terjadi karena Industri 4.0 masih
berupa gagasan yang wujud nyata dari keseluruhan aspeknya belum jelas sehingga
dapat memunculkan berbagai kemungkinan arah pengembangan.
Definisi Industri
4.0
Definisi mengenai
Industri 4.0 beragam karena masih dalam tahap penelitian dan pengembangan.
Kanselir Jerman, Angela Merkel (2014) berpendapat bahwa Industri 4.0 adalah
transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui
penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional.
Schlechtendahl dkk (2015) menekankan definisi kepada unsur kecepatan dari
ketersediaan informasi, yaitu sebuah lingkungan industri di mana seluruh
entitasnya selalu terhubung dan mampu berbagi informasi satu dengan yang lain.
Pengertian yang lebih teknis disampaikan oleh Kagermann dkk
(2013) bahwa Industri 4.0 adalah integrasi dari Cyber Physical System (CPS)
dan Internet of Things and Services (IoT dan IoS) ke dalam proses
industri meliputi manufaktur dan logistik serta proses lainnya. CPS adalah
teknologi untuk menggabungkan antara dunia nyata dengan dunia maya.
Penggabungan ini dapat terwujud melalui integrasi antara proses fisik dan
komputasi (teknologi embedded computers dan jaringan) secara close
loop (Lee, 2008). Hermann dkk (2015) menambahkan bahwa Industri 4.0 adalah
istilah untuk menyebut sekumpulan teknologi dan organisasi rantai nilai berupa smart
factory, CPS, IoT dan IoS. Smart factory adalah pabrik modular
dengan teknologi CPS yang memonitor proses fisik produksi kemudian
menampilkannya secara virtual dan melakukan desentralisasi pengambilan
keputusan.
Melalui IoT, CPS mampu saling berkomunikasi dan bekerja
sama secara real time termasuk dengan manusia. IoS adalah semua aplikasi layanan
yang dapat dimanfaatkan oleh setiap pemangku kepentingan baik secara internal
maupun antar organisasi. Terdapat enam prinsip desain Industri 4.0 yaitu interoperability,
virtualisasi, desentralisasi, kemampuan real time, berorientasi layanan
dan bersifat modular. Berdasar beberapa penjelasan di atas, Industri 4.0 dapat
diartikan sebagai era industri di mana seluruh entitas yang ada di dalamnya dapat
saling berkomunikasi secara real time kapan saja dengan berlandaskan
pemanfaatan teknologi internet dan CPS guna mencapai tujuan tercapainya kreasi
nilai baru ataupun optimasi nilai yang sudah ada dari setiap proses di
industri.
Revolusi digital
dan era disrupsi teknologi
adalah istilah lain dari industri 4.0. Disebut revolusi digital karena
terjadinya proliferasi komputer dan otomatisasi pencatatan di semua bidang.
Industri 4.0 dikatakan era disrupsi teknologi karena otomatisasi dan
konektivitas di sebuah bidang akan membuat pergerakan dunia industri dan persaingan
kerja menjadi tidak linear. Salah satu karakteristik unik dari industri 4.0
adalah pengaplikasian kecerdasan buatan atau artificial intelligence (Tjandrawinata,
2016). Salah satu bentuk pengaplikasian tersebut adalah penggunaan robot untuk
menggantikan tenaga manusia sehingga lebih murah, efektif, dan efisien.
Industri 4.0 sebagai
fase revolusi teknologi mengubah cara beraktifitas manusia dalam skala, ruang
lingkup, kompleksitas, dan transformasi dari pengalaman hidup sebelumnya.
Manusia bahkan akan hidup dalam ketidakpastian (uncertainty) global, oleh
karena itu manusia harus memiliki kemampuan untuk memprediksi masa depan yang
berubah sangat cepat. Tiap negara harus merespon perubahan tersebut secara
terintegrasi dan komprehensif. Respon tersebut dengan melibatkan seluruh
pemangku kepentingan politik global, mulai dari sektor publik, swasta,
akademisi, hingga masyarakat sipil sehingga tantangan industri 4.0 dapat
dikelola menjadi peluang.
Wolter mengidentifikasi tantangan
industri 4.0 sebagai berikut;
1) masalah keamanan teknologi informasi;
2) keandalan dan stabilitas mesin produksi;
3) kurangnya keterampilan yang memadai;
4) keengganan untuk berubah oleh para pemangku kepentingan;
dan
5) hilangnya banyak
pekerjaan karena berubah menjadi otomatisasi.

Komentar
Posting Komentar